I. PENDAHULUAN
Hutan
merupakan hamparan lahan yang memiliki nilai yang tinggi, baik sebagai peyangga
kebutuhan, perlindungan ekologi, jasa, beserta merupakan sebagai pemberdaya
mesyarakat. Pada saat kini, masyarakat sangat tergantung terhadap hutan, begitu pula sebaliknya hutan
dapat lestari dan rusak dengan adanya pengaruh masyarakat. Maka dari itu
diperlukan suatu pemberdayaan yang memperhatikan dua aspek tersebut.
Dari hal
diatas maka dibentuklah sebuah pengelolahan hutan yang berbasis masyarkat salah
satunya adalah hutan tanaman rakyat. Dimana hutan tanaman rakyat merupakan
suatu lahan yang diberikan kepada perorangan atau kelompok untuk produksi
dengan luasan tertentu. Yang nantinya dapat dijadikan sebagai suatu program
pemberdayaan hutan masyarakat yang dapat memberikan peranan antara lain,
meningkatkan pendapatan petani, memanfaatkan secara maksimal dan lestari lahan-lahan
yang tidak produktif, menghasilkan kayu
bakar, menghasilkan kayu kayu bahan
bangunan dan bahan baku industry,
mempercepat usaha rehabilitasi lahan,menghasilkan buah-buahan,
umbi-umbian, bahan obat-obatan, sayuran dan pakan ternak.
Dengan adanya
suatu pengelolahan HTR maka dapat dijadikan suatu tonjakan awal pembangunan
hutan di Indonesia, dengan sangat pentingnya HTR ini, maka diperlukan sebuah
konsep tentang HTR agar hal ini dapat diantarkan dengan mudah kepada
masyarakat.
II. PEMBAHASAN
A. Hutan
Tanaman Rakyat
HTR merupakan
hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau kelompok
masyarakat dan koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi
dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya
hutan.
Pada tahap
pertama pembangunan hutan tanaman rakyat sebaiknya dipusatkan pada kawasan
hutan produksi yang sudah disediakan untuk pembangunan HTI namun dalam kondisi
terlantar atau tidak lagi dimanfaatkan. Untuk itu Departemen Kehutanan perlu
melakukan kajian dan penilaian ulang secara lebih rinci terhadap status serta
kondisi kawasan hutan produksi yang sudah ditetapkan atau dicadangkan untuk
pembangunan HTI. Dari sekitar 9 juta hektar kawasan hutan produksi yang sudah
disediakan untuk membangun HTI, sekitar 6 juta hektar belum ditanami atau tidak
berhasil penanamannya.
Oleh sebab
itu, dari luas 6 juta hektar tersebut sekitar 60 % atau sekitar 3,6 juta hektar
dapat disediakan bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang mempunyai
kemauan dan kemampuan untuk membangun hutan tanaman. Selebihnya, sekitar 2,4
juta hektar, dapat ditawarkan ulang kepada perusahaan (asing, nasional ataupun
lokal) yang benar-benar berminat dan mempunyai kemampuan membangun HTI. Hutan
tanaman rakyat tersebut dapat dikembangkan melalui pemberian hak pengusahaan
atau ijin pemanfaatan hutan tanaman kepada perorangan maupun kelompok, termasuk
koperasi masyarakat. Hutan tanaman rakyat juga sebaiknya dikembangkan dalam
bentuk atau sebagai bagian dari hutan desa atau hutan adat.
Hutan rakyat
sudah lama berkembang di Indonesia, namun di setiap daerah istilah yang
dipergunakan berbeda sesuai dengan bahasa daerahnya, misalnya kebun talun (Jawa
Tengah), kombong (Tana Toraja), tembawang (Kaliman Barat), limbo (Kalimantan
Timur). Perkembangan hutan rakyat menjadi lebih tertata sejak tahun 1952, yaitu
pada saat lahirnya Gerakan Karang Kitri, yang diperkenalkan oleh Dinas
Pertanian Rakyat. Gerakan tersebut adalah gerakan rakyat menanami tanah-tanah
kosong dengan pohon-pohonan untuk melindungi tanah dari bahaya erosi. Kemudian
sekitar tahun 1976 pemerintah melaksanakan program penanaman pohon pada lahan
milik yang dikenal sebagai Program Penghijauan.
Awalnya
Program Penghijauan memang lebih ditekankan pada upaya penyelamatan
(konservasi) hutan, tanah dan air, oleh sebab itu jenis tanaman yang dipilih
lebih banyak ditentukan oleh pemerintah dan kurang disesuaikan dengan keperluan
masyarakat, sehingga manfaat ekonomi program tersebut tidak banyak dirasakan
langsung oleh masyarakat. Manfaat ekonomi dan manfaat sosial hutan rakyat baru
mulai dirasakan saat ini setelah permintaan (demand) atas bahan baku kayu untuk
industri tidak lagi dapat dipenuhi oleh pasokan (supply) kayu dari luar Jawa.
Kayu yang
dihasilkan dari hutan rakyat, terutama di Jawa, sudah banyak dipergunakan untuk
memenuhi permintaan bahan baku industri pengolahan kayu maupun bahan bakar
berbagai industri rakyat di Jawa. Di beberapa Kabupaten produksi kayu hutan
rakyat bahkan sudah melampaui volume produksi kayu Perum Perhutani. Di Kabupaten
Ciamis misalnya, produksi kayu hutan rakyat mencapai 300 ribu m3 per tahun,
sementara produksi kayu Perum Perhutani di kabupaten tersebut hanya sekitar 30
ribu m3 per tahun. Luas hutan rakyat di seluruh Indonesia saat ini ditaksir
mencapai 1,5 juta hektar dengan potensi kayu sekitar 40 juta m3, yang sebagian
besar berada di Jawa dengan potensi kayu mencapai 23 juta m3.
Keberhasilan
pembangunan hutan rakyat di Jawa ternyata tidak terlepas dari peran pemerintah
melalui Program Penghijauan, di samping tentunya keswadayaan masyarakat. Oleh
sebab itu, Departemen Kehutanan bersama Dinas di Provinsi dan 4 Kabupaten yang
menangani urusan kehutanan harus terus mendorong tumbuhnya minat masyarakat
untuk menanam pohon, melalui berbagai gerakan, seperti GERHAN, Indonesia
Menanam maupun Kecil Menanam Dewasa Memanen (KMDM).
Kawasan hutan
negara di Jawa saat ini sebagian besar dikelola oleh Perum Perhutani. Luas
hutan produksi yang dikelola Perhutani mencapai 1,8 juta hektar. Dalam hutan
produksi tersebut sekitar 300 ribu hektar berupa lahan yang belum ditanami atau
rusak akibat perambahan. Lahan hutan produksi yang gundul atau rusak tersebut
sebetulnya dapat dikembangkan oleh Perhutani menjadi hutan tanaman melalui
kerjasama dengan masyarakat di sekitarnya.
B. Kendala Pengembangan
Hutan Tanaman Oleh Rakyat
Berdasarkan
pengalaman dalam pembangunan HTI dan hutan rakyat, berbagai kajian menunjukkan
bahwa masalah utama yang dapat menghambat pembangunan dan pengembangan hutan
tanaman oleh rakyat adalah sebagai berikut:
Kawasan yang
ditetapkan menjadi areal hutan tanaman tidak menjamin kepastian usaha, ditinjau
dari sisi penguasaan lahan, jangka waktu pemanfaatan maupun pengalihan ijin
pemanfaatan,
Penetapan
lokasi yang keliru dan tapaknya tidak sesuai dengan jenis yang ditanam
menyebabkan tanaman berdaya hasil, biaya pembangunan tanaman menjadi mahal,
atau kayu hasil tanaman sulit dipasarkan,
Minat
masyarakat untuk mengembangkan hutan tanaman umumnya rendah karena tanaman
hutan memerlukan waktu cukup lama untuk siap dipanen,
Kemampuan
masyarakat untuk membangun dan mengelola hutan tanaman umumnya rendah, ditinjau
dari sisi mutu sumberdaya manusia, peralatan, maupun pembiayaan untuk
pembangunan tanaman,
Kelembagaan
masyarakat untuk melakukan usaha hutan tanaman masih lemah bahkan di banyak
desa belum tersedia,
Ketidakpastian
pasar dan harga jual dari kayu hasil tanaman masyarakat,
Serangan
hama-penyakit akibat pengembangan hutan tanaman sejenis dan kebakaran hutan
akibat pembukaan lahan menggunakan cara pembakaran.
Untuk mengatasi
permasalahan tersebut maka diperlukan beberapa langkah kebijakan yang harus
disiapkan oleh DEPHUT sebagai berikut:
Penetapan
lokasi untuk pembangunan dan pengembangan hutan tanaman oleh rakyat secara
cermat dengan memperhatikan sebaran lokasi industri pengolahan kayu, pasar kayu
olahan, serta ketersediaan sarana-prasarana untuk menjangkau industri dan
pasar;
Penata batasan
dan pengukuhan terhadap areal yang ditetapkan untuk pembangunan dan
pengembangan hutan tanaman oleh rakyat tersebut;
Menyusun peta
kesesuaian jenis untuk area hutan tanaman tersebut, termasuk kesesuaian jenis
untuk mata dagang (komoditi) pertanian dan perkebunan;
Menyusun
pedoman atau tata cara pembangunan hutan tanaman oleh rakyat;
Pemasyarakatan
atau sosialisasi tentang manfaat (benefits), rencana dan tata cara pembangunan
hutan tanaman oleh rakyat;
Menyediakan
berbagai bentuk pelatihan (training) atau lokakarya (workshop) untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pembangunan (termasuk teknik pembukaan
lahan yang ramah lingkungan) dan pengelolaan hutan tanaman (termasuk
pengendalian hama-penyakit), serta pemasaran hasil dari hutan tanaman;
Meningkatkan
kemampuan kelembagaan masyarakat melalui pendampingan;
Menyediakan
kemudahan bagi masyarakat dalam menjangkau sumber-sumber pembiayaan untuk
pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman, termasuk membentuk lembaga keuangan
yang membantu penyediaan pinjaman sebagai modal pembangunan hutan tanaman;
Menyediakan
kemudahan bagi masyarakat untuk membangun kemitraan dengan industri dan pasar
kayu olahan.
Belajar dari
pengalaman pembangunan HTI, ternyata HTI yang berhasil adalah HTI yang dibangun
secara swadana oleh perusahaan dan siap dengan industri yang akan menampung
hasilnya. Sementara itu telah diuraikan terdahulu bahwa sebagian 6 kendala yang
akan menghambat atau menggagalkan pengembangan hutan tanaman oleh rakyat adalah
ketersediaan modal untuk membangun hutan tanaman dan kemungkinan sulitnya
pemasaran hasil tanaman. Untuk itu masyarakat yang membangun hutan tanaman
harus membentuk kelompok untuk bermitra dengan industri pengolahan atau
pemasaran kayu, kecuali apabila kelompok masyarakat tersebut sudah mampu
memiliki industri dan membangun jaringan pasar secara mandiri.
C. Peran Badan
Litbang Kehutanan
Hutan tanaman
oleh rakyat, dalam bentuk hutan tanaman rakyat maupun hutan rakyat, harus
dibina oleh DEPHUT secara intensif agar secara bertahap meningkat daya hasil
dan mutu tegakannya, serta dapat berkembang menjadi menjadi unit usaha
masyarakat yang mampu mengelola hutan produksi secara berkelanjutan. Bahkan
perlu diarahkan agar secara bertahap usaha masyarakat tersebut berkembang
menjadi usaha industri kehutanan, yang menangani mulai dari pembangunan tanaman
hingga pemasaran hasilnya.
Badan Litbang
Kehutanan dapat berperan sebagai pendamping kelompok dan unit usaha masyarakat,
atau menyiapkan tenaga pendamping masyarakat (baik dari lembaga swadaya masyarakat
atau penyuluh kehutanan) dengan memberikan bimbingan teknis dan alih teknologi
di berbagai bidang, antara lain: pembibitan, pembukaan dan pengolahan lahan,
silvikultur hutan tanaman (termasuk pengendalian hama-penyakit dan penerapan
teknik wanatani), pengendalian kebakaran hutan, penghitungan volume pohon,
volume hasil dan riap tegakan, pemanenan yang mudah, murah dan ramah
lingkungan, pengolahan kayu secara sederhana, pengelolaan unit usaha, dan
pengembangan hasil hutan bukan kayu. Tentunya para peneliti Badan Litbang
Kehutanan harus menyiapkan diri dan meluangkan waktu untuk juga mau dan mampu
turun langsung ke desa.
D. Pembangunan
Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Pola HTR
terdiri dari:
HTR Pola
Mandiri adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR.
HTR Pola
Kemitraan adalah HTR yang dibangun oleh Kepala Keluarga pemegang IUPHHK-HTR
bersama dengan mitranya berdasarkan kesepakatan bersama dengan difasilitasi
oleh pemerintah agar terselenggara kemitraan yang menguntungkan kedua pihak.
HTR Pola
Developer adalah HTR yang dibangun oleh BUMN atau BUMS dan selanjutnya
diserahkan oleh Pemerintah kepada Kepala Keluarga pemohon IUPHHK-HTR dan biaya
pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang ijin dan dikembalikan secara
mengangsur sejak Surat Keputusan IUPHHKHTR diterbitkan.
E. Dasar Hukum
Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.5/Menhut- II/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat Dalam Hutan Tanaman;
Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut- II/2008 Tentang Persyaratan Kelompok Tani
Hutan Untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman
Rakyat;
Peraturan
Menteri Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan P.05/VI-BPHT/2008
tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Produksi
Kehutanan P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman
Rakyat (HTR);
Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.
Sumber: BPPHP Wil. IV Jambi
F. Mekanisme Penetapan
Pencadangan Lokasi HTR
Alokasi dan
Penetapan Areal Pembangunan HTR dilakukan oleh Menteri Kehutanan dengan
Kriteria : Kawasan HP yang tidak produktif, tidak dibebani izin/hak dan
diutamakan dekat dengan Indunstri Hasil Hutan.
Untuk
pembangunan HTR, Kepala Baplan atas nama Menteri Kehutanan menyampaikan peta
arahan indikatif lokasi HTR per provinsi kepada Bupati dengan tembusan kepada :
Dirjen BPK, Sekjen, Gubernur, Kepala DinasKehutanan Provinsi, Kepala Dinas
Kehutanan Kabupaten/Kota dan Kepala Balai BPKH.
Dirjen BPK
melakukan sosisalisasi program Pembangunan HTR dan peta arahan indikatif lokasi
HTR kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.
Sekjen DepHut
melaksanakan sosialisasi tentang Pembiayaan Pembangunan HTR melalui BLU cq.
Pusat Pembiayaan Pembangunan Kehutanan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.
Kepala BPKH
memberikan asistensi teknis kepada Dinas Kehutanan provinsi/kabupaten/kota
berdasarkan petunjuk teknis dari Kepala Baplan.
Kepala Dinas
Kehutanan kabupaten/kota menyampaikan pertimbangan teknis kawasan areal tumpang
tindih perizinan, rehabilitasi dan reboisasi, program pembangunan daerah kepada
Bupati/Walikota dilampiri dengan peta lokasi HTR Skala 1: 50.000
Bupati/Walikota
menyampaikan usulan rencana pembangunan HTR kepada Menteri Kehutanan dilampiri
peta usulan lokasi HTR Skala 1: 50.000 yang ditembuskan kepada Dirjen BPK dan
Kepala Baplan.
Kepala Baplan
melakukan verifikasi peta usulan lokasi HTR lalu menyiapkan lokasi pencadangan
areal HTR dan hasilnya disampaikan kepada Dirjen BPK.
Dirjen BPK
melakukan verifikasi administrasi dan teknis lalu menyiapkan konsep keputusan
Menteri Kehutanan tentang penetapan lokasi pencadangan areal HTR dan dilampiri
peta pencadangan areal HTR serta mengusulkannya kepada Menteri Kehutanan.
Menteri
Kehutanan menerbitkan pencadangan areal untuk pembangunan HTR dan disampaikan
kepada Bupati/Walikota dengan tembusan Gubernur
Bupati/Walikota
menyampaikan sosialisasi ke desa/masyarakat, bisa melalui LSM pusat, provinsi
atau kabupaten/kota.
G. Mekanisme
Penetapan Perizinan Pembangunan HTR
a. Perorangan
atau Kelompok Tani
Pemohon
(perorangan atau kelompok tani) mengajukan permohonan IUPHHKHTR kepada
Bupati/Walikota melalui Kepala Desa, pada areal yang telah dialokasikan dan
ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
Persyaratan
permohonan yang diajukan oleh Pemohon yakni Foto copy KTP, Surat Keterangan
dari Kepala Desa bahwa benar pemohon berdomisili di desa tersebut dan Sketsa
areal yang dimohon dilampiri dengan susunan anggota Kelompok.
Kepala Desa
melakukan verifikasi keabsahan persyaratan permohonan oleh perorangan atau
Kelompok Tani dan membuat rekomendasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan
kepada Camat dan Kepala BP2HP
Kepala BP2HP
melakukan verifikasi persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang
dimohon hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai pertimbangan teknis.
Kepala BPKH
atau pihak lain yang mewakili melakukan pengukuran, verifikasi lahan dan
perpetaan dan hasilnya disampaikan kepada Bupati sebagai pertimbangan teknis.
Bupati/
Walikota menerbitkan Keputusan IUPHHK-HTR kepada perorangan atau Kelompok atas
nama Menteri Kehutanan yang dilampiri peta areal kerja skala 1: 50.000 dengan
tembusan Menteri Kehutanan, Dirjen BPK, Kepala Baplan dan Gubernur.
Kepala Dinas
Kabupaten/Kota yang menangani bidang kehutanan melaporkan kepada Menteri
kehutanan, rekapitulasi penerbitan Keputusan IUPHHK-HTR secara periodik tiap 3
(tiga) bulan.
b. Koperasi
Pemohon
mengajukan permohonan IUPHHK-HTR kepada Bupati/Walikota pada areal yang telah dialokasikan
dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
Persyaratan
permohonan yang diajukan oleh Pemohon yakni Foto copy Akte Pendirian koperasi,
Surat Keterangan dari Kepala Desa bahwa benar Koperasi dibentuk di desa
tersebut dan Peta areal yang dimohon dilampiri dengan Skala 1:5000 atau
1:10.000 serta dilampiri dengan susunan anggota Koperasi.
Kepala Desa
melakukan verifikasi keabsahan persyaratan permohonan oleh koperasi dan membuat
rekomendasi kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Camat dan Kepala BP2HP
Kepala BP2HP
melakukan verifikasi persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang
dimohon hasilnya disampaikan kepada Bupati/Walikota sebagai pertimbangan
teknis.
Kepala BPKH
atau pihak lain yang mewakili melakukan pengukuran, verifikasi lahan dan perpetaan
dan hasilnya disampaikan kepada Bupati/Walikota sebagai pertimbangan teknis.
Bupati/
Walikota menerbitkan Keputusan IUPHHK-HTR kepada koperasi atas nama Menteri
Kehutanan yang dilampiri peta areal kerja skala 1: 50.000 dengan tembusan
Menteri Kehutanan, Dirjen BPK, Kepala Baplan dan Gubernur.
Kepala Dinas
Kabupaten/Kota yang menangani bidang kehutanan melaporkan kepada Menteri
kehutanan, rekapitulasi penerbitan Keputusan IUPHHK-HTR secara periodik tiap 3
(tiga) bulan.
Sumber : http://amrullha.wordpress.com/